1.1
Akar masalah Penegakan Hukum Di
Indonesia.
Sebagai
mana lampirkan dalam blog Tunas bangsa, Terbit pada 5 Oktober 2011 - 06:30 WIB
Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo mengatakan bahwa “publik tidak
melihat adanya upaya keras dari presiden untuk menunjukkan keadilan dari
penanganan skandal Bank Century, mafia pajak, mafia hukum, kasus Antasari
Azhar, hingga kasus dugaan suap Wisma Atlet Sea Games Palembang”.
Tentu
masalah-masalah yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini merupakan dampak dari
ketidak adanya jiwa pancasila yang tumbuh di antara pemimpin-pemimpin bangsa
ini dan menjadikan pancasila sebagai way of life, sungguh ironis memang melihat
kenyataan bahwa pancasila sebagai dasar Negara Indonesia hanya sebatas pajangan
yang memperindah di tiap-tiap gedung pemerintahan yang megah, dan bahkan
terpampang dengan gagahnya di dalam gedung dan ruang-ruang di DPR-MPR, Istana
Presiden dan gedung-gedung vital lainnya yang berfungsi dalam pergerakan
pemerintahan di Indonesia ini, dimana dalam pancasila adanya nilai-nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dimana agar terciptanya keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hak
ini tidak hanya terjadi di lembaga pemerintahan saja tetapi juga merambat
kepada para penegak hokum yang ada di negri ini, dimana kita biasa menyebutnya
dengan mafia hokum.
Tetapi
yang menurut saya yang menjadi akar dari semua permasalahan di negeri ini
adalah ketidak berfungsinya nilai-nilai pancasila yang seharusnya sebagai
pandangan hidup bagi orang Indonesia yang dimana pancasila telah mencakup aspek
dalam segala tindakan dan tingkah laku bagi seluruh warga Negara Indonesia.
1.2
Tipe Negara Hukum Indonesia.
Apabila kita meneliti UUD 1945 (sebelum amademen),
kita akan menemukan unsur - unsur negara hukum tersebut di dalamnya, yaitu sebagai
berikut; pertama, prinsip kedaulatan rakyat
(pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi (penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia (pasal 27, 28, 29, 31), keempat,
pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19), kelima, pengawasan peradilan (pasal 24), keenam, partisipasi warga negara (pasal
28), ketujuh, system perekonomian (pasal 33).
Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara
tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah amandemen) yaitu pasal 1 ayat (3);
“Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum
(rechtsstaat)”. Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk
mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana
yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945,
Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran
implementasi memiliki karakteristik
yang beragam, sesuai dengan muatan lokal, falsafah bangsa, ideology negara, dan latar belakang historis masing-masing negara.
Oleh karena itu, secara historis dan praktis,
konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam,
negara hokum menurut konsep Eropa Kontinental
yang dinamakan rechtsstaat, negara hokum menurut
konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.
Menurut Philipus M. Hadjon, karakteristik negara
hukum Pancasila tampak pada unsur-unsur yang ada dalam negara Indonesia, yaitu sebagai
berikut :
Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat
berdasarkan asas kerukunan;
• Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
• Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;
• Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan penelitian Tahir Azhary, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berkut :
• Ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
• Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
• Kebebasan beragama dalam arti positip;
• Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
• Asas kekeluargaan dan kerukunan.
• Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
• Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;
• Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan penelitian Tahir Azhary, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berkut :
• Ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
• Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
• Kebebasan beragama dalam arti positip;
• Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
• Asas kekeluargaan dan kerukunan.
Meskipun antara hasil penelitian Hadjon dan Tahir
Azhary terdapat perbedaan, karena terdapat titik pandang yang berbeda. Tahir Azhary melihatnya
dari titik pandang hubungan antara agama dengan
negara, sedangkan Philipus memandangnya dari aspek
perlindungan hukum bagi rakyat. Namun sesungguhnya unsur-unsur yang dikemukakan oleh kedua pakar hukum
ini terdapat dalam negara hukum Indonesia.
Artinya unsur-unsur yang dikemukakan
ini saling melengkapi, dan Indonesia masih menggunakan hukum formil, tapi tidak
murni sebagai hukum formilnya diterapkan di semua aspek hukum.
1.3
Kelemahan Perangkat Perundang-undangan
Di Indonesia.
Civil Law dikenal apa yang dinamakan
“kodifikasi hukum”. Artinya pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab
undang-undang secara sistematis dan lengkap. Tujuannya adalah untuk memperoleh
kepastian hukum, penyederhanaan hukum,dan kesatuan hukum. Contoh hukum yang
sudah dikodifikasi dalam kitab undang-undang adalah Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Kitab-kitab di atas ditulis dan disusun oleh
pemerintah kolonial Belanda dan diberlakukan di Indonesia sampai sekarang. Jadi
tidak semua kejahatan yang termasuk kejahatan modern diatur dalam Kitab
undang-undang tersebut. Contohnya kasus kejahatan kerah putih, pencucian uang,
dll.
1.4
Kelemahan
Aparat Penegak Hukum.
Sebagaimana di paparkan dalam situs viva news Jum'at,
28 Oktober 2011 | 22:14 WIB, Ketua Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Kuntoro
Mangkusubroto
Kuntoro menjelaskan dalam pemberantasan mafia hukum
setidaknya ada 6 akar permasalahan sebagaimana yang sudah kita identifikasi
bersama. Pertama, Kelemahan manajemen sumber daya manusia. Kedua, Kelemahan
kepemimpinan. Ketiga, Gaji aparat penegak hukum yang kurang. Keempat, kelemahan
dalam sistem penaganan perkara. Kelima, kelemahan pengawasan internal dan
eksternal. Keenam, kelemahan pada Undang-undang yang terkait pencegahan mafia
hukum.
1.5
Apakah
prilaku masyarakat telah mendukung penegakan hokum ?
Permasalahan
hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya,
perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun
perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang
sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi
penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang
melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang
lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini
sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut
tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya).
Pada
dasarnya masyarakat akan mentaati hukum apabia hukum itu telah ditegakan dengan
sebenar-benarnya dan berfungsi sebagaimana mestinya, tapi anggapan yang terjadi
saat ini hukum hanya tegas kepada kaum lemah, dan tak berlaku kepada kaum-kaum
elit penguasa, sehingga timbul Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum dan lebih
menyelesaian Konflik dengan Kekerasan karena kefrustasian terhadap penegakan
hukum di indonesia
1.6
Solusi Terhadap carut-marutnya penegakan
hokum di Indonesia.
Para filsuf
hukum mengatakan, hukum yang tidak adil bukanlah hukum (unjustice law is not
law) .
Rasa keadilan
memang subjektif. Adil bagi yang menang tetapi dianggap tidak adil bagi yang
kalah. Itulah penilaian seseorang terhadap sebuah putusan pengadilan. Tidaklah
mungkin sebuah putusan pengadilan akan memenangkan kedua belah pihak yang
saling berhadapan kepentingannya itu sekaligus. Hakim senantiasa dalam posisi
diametral yang tak mungkin bisa memuaskan kedua pihak,
Hukum juga
harus memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people).
Sedangkan dari aliran Sejarah Hukum, yang mengatakan: “Hukum itu tidak dibuat,
tetapi tumbuh dalam masyarakat itu sendiri sebagai jiwa bangsa (Das recht wird
nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke)-volkgeist. Jadi setiap suku
bangsa itu memilki apa yang dinamakan volkgeist-nya masing-masing.
Selain itu juga
tujuan mewujudkan keadilan sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu:
secara filosofis, perlu tegaknya keadilan; secara yuridis formal, perlu ada kepastian
hukum; dan secara sosiologis, memberikan kemanfaatan.
Sebaliknya,
hukum juga bisa menjadi alat pencipta keadilan dalam masyarakat dan membatasi
penguasa agar tidak sewenang-wenang. Bahkan hukum yang baik tidak hanya
menjamin kepastian hukum semata, tetapi juga harus menjamin keadilan dan
kemanfaatan.
Hukum
sesungguhnya hanya institusi yang mengikuti perubahan sosial . Menurut Von
Savigny, hukum bukan merubah konsep dalarn masyarakat karena hukum tumbuh
secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah
seiring perubahan sosial. Marx justru pendapatnya bertentangan yaitu bahwa
perubahan sosial tidak mungkin diciptakan oleh hukum, tetapi teknologi dan
ekonomi. Hukum merupakan suprastruktur di atas ekonomi dan teknologi.
Pembicaraan
mengenai hukum dewasa mi tidak dapat dilakukan seperti waktu kita
membicarakannya sekian ribu tahun yang lalu. Hukum harus kita bicarakan “hic
et nunc”, “sekarang dan disini” .
Dari paparan
yang telah disampaikan, gambaran semrawut hukum di Indonesia mulai menemukan
arah. Setidaknya kita tidak terjebak dari belantara rumitnya hukum di
Indonesia.
Rahardjo.Satjipto, Negara Hukum
yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta : Gentapress, 2008.
Tanya.Bernard, Teori Hukum
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta
Publishing, 2010
2. Penegakan
Hukum Yang Baik tidak hanya mengutamakan kepastian hokum, tetapi juga keadilan
dan kemanfaatan.
Gustav Radbruch mengatakan bahwa
hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian
hukum dan kegunaan. Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar hukum, namun
masing-masing nilai mempunyai tuntutan yang berbeda satu dengan yang lainnya,
sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan dan menyebabkan
adanya ketegangan antara ketiga nilai tersebut (Spannungsverhaltnis).
Hukum sebagai pengemban nilai
keadilan menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum.
Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum.
Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi
hukum. Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem
hukum positif. Kepada keadilan-lah hukum positif berpangkal. Sedangkan
konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai
hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.
Apabila, dalam penegakan hukum
cenderung pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai
nilai ia telah menggeser nilai keadilan dan kegunaan. Hal ini dikarenakan, di
dalam kepastian hukum yang terpenting adalah peraturan itu sendiri sesuai dengan
apa yang dirumuskan. Begitu juga ketika nilai kegunaan lebih diutamakan, maka
nilai kegunaan akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan
karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut
berguna bagi masyarakat. Demikian juga, ketika yang diperhatikan hanya nilai
keadilan, maka akan menggeser nilai kepastian hukum dan kegunaan. Sehingga,
dalam penegakan hukum harus ada keseimbangan antara ketiga nilai tersebut.
Rahardjo.Satjipto,
Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta : Gentapress,
2008.
Suteki,
Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi Pemuliaan
Keadilan Substantif dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar, Semarang : Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 2010
Tanya.Bernard,
Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Yogyakarta : Genta Publishing, 2010
0 komentar:
Posting Komentar