Pages

Jumat, 06 April 2012

Akar masalah Penegakan Hukum Di Indonesia


   
1.1            Akar masalah Penegakan Hukum Di Indonesia.
Sebagai mana lampirkan dalam blog Tunas bangsa, Terbit pada 5 Oktober 2011 - 06:30 WIB Anggota Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo mengatakan bahwa “publik tidak melihat adanya upaya keras dari presiden untuk menunjukkan keadilan dari penanganan skandal Bank Century, mafia pajak, mafia hukum, kasus Antasari Azhar, hingga kasus dugaan suap Wisma Atlet Sea Games Palembang”.
Tentu masalah-masalah yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini merupakan dampak dari ketidak adanya jiwa pancasila yang tumbuh di antara pemimpin-pemimpin bangsa ini dan menjadikan pancasila sebagai way of life, sungguh ironis memang melihat kenyataan bahwa pancasila sebagai dasar Negara Indonesia hanya sebatas pajangan yang memperindah di tiap-tiap gedung pemerintahan yang megah, dan bahkan terpampang dengan gagahnya di dalam gedung dan ruang-ruang di DPR-MPR, Istana Presiden dan gedung-gedung vital lainnya yang berfungsi dalam pergerakan pemerintahan di Indonesia ini, dimana dalam pancasila adanya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dimana agar terciptanya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hak ini tidak hanya terjadi di lembaga pemerintahan saja tetapi juga merambat kepada para penegak hokum yang ada di negri ini, dimana kita biasa menyebutnya dengan mafia hokum.
Tetapi yang menurut saya yang menjadi akar dari semua permasalahan di negeri ini adalah ketidak berfungsinya nilai-nilai pancasila yang seharusnya sebagai pandangan hidup bagi orang Indonesia yang dimana pancasila telah mencakup aspek dalam segala tindakan dan tingkah laku bagi seluruh warga Negara Indonesia.
  1.2            Tipe Negara Hukum Indonesia.
Apabila kita meneliti UUD 1945 (sebelum amademen), kita akan menemukan unsur - unsur negara hukum tersebut di dalamnya, yaitu sebagai berikut; pertama, prinsip kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi (penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (pasal 27, 28, 29, 31), keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19), kelima, pengawasan peradilan (pasal 24), keenam, partisipasi warga negara (pasal 28), ketujuh, system perekonomian (pasal 33).
Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah amandemen) yaitu pasal 1 ayat (3); “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”. Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfare state terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945,
Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran implementasi memiliki karakteristik yang beragam, sesuai dengan muatan lokal, falsafah bangsa, ideology negara, dan latar belakang historis masing-masing negara. Oleh karena itu, secara historis dan praktis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hokum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hokum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.
Menurut Philipus M. Hadjon, karakteristik negara hukum Pancasila tampak pada unsur-unsur yang ada dalam negara Indonesia, yaitu sebagai berikut :
Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan;
• Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
• Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir;
• Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan penelitian Tahir Azhary, negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berkut :
• Ada hubungan yang erat antara agama dan negara;
• Bertumpu pada Ketuhanan Yang Maha Esa;
• Kebebasan beragama dalam arti positip;
• Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang;
• Asas kekeluargaan dan kerukunan.
Meskipun antara hasil penelitian Hadjon dan Tahir Azhary terdapat perbedaan, karena terdapat titik pandang yang berbeda. Tahir Azhary melihatnya dari titik pandang hubungan antara agama dengan negara, sedangkan Philipus memandangnya dari aspek perlindungan hukum bagi rakyat. Namun sesungguhnya unsur-unsur yang dikemukakan oleh kedua pakar hukum ini terdapat dalam negara hukum Indonesia.
Artinya unsur-unsur yang dikemukakan ini saling melengkapi, dan Indonesia masih menggunakan hukum formil, tapi tidak murni sebagai hukum formilnya diterapkan di semua aspek hukum.
  1.3            Kelemahan Perangkat Perundang-undangan Di Indonesia.
Civil Law dikenal apa yang dinamakan “kodifikasi hukum”. Artinya pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Tujuannya adalah untuk memperoleh kepastian hukum, penyederhanaan hukum,dan kesatuan hukum. Contoh hukum yang sudah dikodifikasi dalam kitab undang-undang adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Kitab-kitab di atas ditulis dan disusun oleh pemerintah kolonial Belanda dan diberlakukan di Indonesia sampai sekarang. Jadi tidak semua kejahatan yang termasuk kejahatan modern diatur dalam Kitab undang-undang tersebut. Contohnya kasus kejahatan kerah putih, pencucian uang, dll.
  1.4            Kelemahan Aparat Penegak Hukum.
Sebagaimana di paparkan dalam situs viva news Jum'at, 28 Oktober 2011 | 22:14 WIB, Ketua Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Kuntoro Mangkusubroto
Kuntoro menjelaskan dalam pemberantasan mafia hukum setidaknya ada 6 akar permasalahan sebagaimana yang sudah kita identifikasi bersama. Pertama, Kelemahan manajemen sumber daya manusia. Kedua, Kelemahan kepemimpinan. Ketiga, Gaji aparat penegak hukum yang kurang. Keempat, kelemahan dalam sistem penaganan perkara. Kelima, kelemahan pengawasan internal dan eksternal. Keenam, kelemahan pada Undang-undang yang terkait pencegahan mafia hukum.
  1.5            Apakah prilaku masyarakat telah mendukung penegakan hokum ?
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum . Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya).
Pada dasarnya masyarakat akan mentaati hukum apabia hukum itu telah ditegakan dengan sebenar-benarnya dan berfungsi sebagaimana mestinya, tapi anggapan yang terjadi saat ini hukum hanya tegas kepada kaum lemah, dan tak berlaku kepada kaum-kaum elit penguasa, sehingga timbul Ketidakpercayaan Masyarakat pada Hukum dan lebih menyelesaian Konflik dengan Kekerasan karena kefrustasian terhadap penegakan hukum di indonesia

  1.6            Solusi Terhadap carut-marutnya penegakan hokum di Indonesia.
Para filsuf hukum mengatakan, hukum yang tidak adil bukanlah hukum (unjustice law is not law) .
Rasa keadilan memang subjektif. Adil bagi yang menang tetapi dianggap tidak adil bagi yang kalah. Itulah penilaian seseorang terhadap sebuah putusan pengadilan. Tidaklah mungkin sebuah putusan pengadilan akan memenangkan kedua belah pihak yang saling berhadapan kepentingannya itu sekaligus. Hakim senantiasa dalam posisi diametral yang tak mungkin bisa memuaskan kedua pihak,
Hukum juga harus memberikan keadilan kepada rakyat (bringing justice to the people). Sedangkan dari aliran Sejarah Hukum, yang mengatakan: “Hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dalam masyarakat itu sendiri sebagai jiwa bangsa (Das recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke)-volkgeist. Jadi setiap suku bangsa itu memilki apa yang dinamakan volkgeist-nya masing-masing.
Selain itu juga tujuan mewujudkan keadilan sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri, yaitu: secara filosofis, perlu tegaknya keadilan; secara yuridis formal, perlu ada kepastian hukum; dan secara sosiologis, memberikan kemanfaatan.
Sebaliknya, hukum juga bisa menjadi alat pencipta keadilan dalam masyarakat dan membatasi penguasa agar tidak sewenang-wenang. Bahkan hukum yang baik tidak hanya menjamin kepastian hukum semata, tetapi juga harus menjamin keadilan dan kemanfaatan.
Hukum sesungguhnya hanya institusi yang mengikuti perubahan sosial . Menurut Von Savigny, hukum bukan merubah konsep dalarn masyarakat karena hukum tumbuh secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring perubahan sosial. Marx justru pendapatnya bertentangan yaitu bahwa perubahan sosial tidak mungkin diciptakan oleh hukum, tetapi teknologi dan ekonomi. Hukum merupakan suprastruktur di atas ekonomi dan teknologi.
Pembicaraan mengenai hukum dewasa mi tidak dapat dilakukan seperti waktu kita membicarakannya sekian ribu tahun yang lalu. Hukum harus kita bicarakan “hic et nunc”, “sekarang dan disini” .
Dari paparan yang telah disampaikan, gambaran semrawut hukum di Indonesia mulai menemukan arah. Setidaknya kita tidak terjebak dari belantara rumitnya hukum di Indonesia.
Rahardjo.Satjipto, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta : Gentapress, 2008.
Tanya.Bernard, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, 2010

2.      Penegakan Hukum Yang Baik tidak hanya mengutamakan kepastian hokum, tetapi juga keadilan dan kemanfaatan.
Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian hukum dan kegunaan. Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar hukum, namun masing-masing nilai mempunyai tuntutan yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan dan menyebabkan adanya ketegangan antara ketiga nilai tersebut (Spannungsverhaltnis).
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Kepada keadilan-lah hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.
Apabila, dalam penegakan hukum cenderung pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia telah menggeser nilai keadilan dan kegunaan. Hal ini dikarenakan, di dalam kepastian hukum yang terpenting adalah peraturan itu sendiri sesuai dengan apa yang dirumuskan. Begitu juga ketika nilai kegunaan lebih diutamakan, maka nilai kegunaan akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut berguna bagi masyarakat. Demikian juga, ketika yang diperhatikan hanya nilai keadilan, maka akan menggeser nilai kepastian hukum dan kegunaan. Sehingga, dalam penegakan hukum harus ada keseimbangan antara ketiga nilai tersebut.

Rahardjo.Satjipto, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta : Gentapress, 2008.

Suteki, Kebijakan Tidak Menegakkan Hukum (Non Enforcement of Law) Demi Pemuliaan Keadilan Substantif dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2010
 
Tanya.Bernard, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing, 2010

0 komentar:

Posting Komentar

Blogroll