- Analisis masalah di Indonesia
Berdasarkan analisis tentang diadakannya pengimporan
secara besar-besaran dalam berbagai aspek di Indonesia, jika dipandang
berdasarkan filsafah Negara, memang tak bias dipungkiri Indonesia telah
menjelma sebagai Negara konsumtif dalam aspek-aspek kehidupannya, dimana
pancasila sebagai falsapah Negara pancasila bukan dijadikan sebagai pandangan
hidup dimana nilai yang terkandung dalam pancasila yaitu nilai ketuhanan, nilai
kemanusiaan, nilai persatuan, dan nilai kemanusiaan demi mencapai kesejahteraan
sudah tidak kurang di fungsikan lagi oleh warga Negara yaitu sifat warga Negara
Indonesia cendrung individualis dan matrelialistis, dimana tidak adanya rasa persatuan dan gotong
royong antara penguasa dan rakyat dalam menjalankan system pemerintahan agar
terlepas dari belenggu problematika bangsa sang semakin menigkat ini, tidak
dapat dilakukan oleh satu pihak dalam menyelesaikannya tetapi harus melibatkan
dan mengikutsertakan semua pihak dan warga negara. Sebagai contoh terdapat dalam
sila ke lima yaitu tentang keadilan seluruh rakyat Indonesia, maka sesuai
dengan keadaan yang ada, kebijakan pemerintah yang melakukan impor beras maupun
kentang tidak sesuai dengan implementasi sila ke lima. Karena dengan adanya
impor tersebut dalam jangka panjang dapat memberikan dampak negative bagi
petani, mungkin saat kebijakan ompor tersebut dilakukan masyarakat merasa
senang karena karena harga kebutuhan menjadi murah, tetapi disisi lain.
Kebijakan impor tersebut dapat mematikan dan menyengsarakan para petani dengan
merosotnya nilai jual dari hasil panen mereka.
Berdasarkan identitas nasional, penyerangan
identitas nasional berupa pengungkapan unsure-unsur positif yang mendukung
kiprah sebuah bangsa di tengah pergaulan internasional dengan menghindari
munculnya nasionalisme yang sempit sangat diperlukan dalam melaksanakan
hubungan internasional dimana dengan adanya globalisasi dan krisis ekonomi
global menimbulkan pihak-pihak asing melakukan segala cara dalam meningkatkan
pendapatan negaranya agar krisis ekonomi dapat dikurangi, yaitu dengan mengajak
Negara – Negara berkembang untuk bekerja sama dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Berkaitan dengan Negara agraris, maka seharusnya pemerintah dalam
mengatasimasalah pangan. Pemerintah tidak seharusnya selalu mengeluarkan
kebijakan impor pangan melainkan mengambil langkah-langkah yang sesuai
identitas nasional yang sesunguhnya yaitu dengan mengembangkan bidang agraris
yang dapat dilakukan dengan memberdayakan para petani agar petani dapat
meningkatkan produksi hasil panennya sehingga dapat mencukupi kebutuhan dalam
negeri khususnya. Tapi pada kenyataannya karena adanya pengaruh globalisasi
pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan – kebijakan nasional tidak
memperhatikan identitas nasional Negara yaitu sebagai Negara agraris melainkan
pemerintah justru terbawa arus yang cendrung pengedepankan industry dan
kentungan investor.
Berdasarkan hak dan kewajiban Sebagaimana telah
ditetapkan dalam UUD 1945 pada pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara
dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang.
Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokrasi. Pada para
pejabat dan pemerintah untuk bersiap-siap hidup setara dengan kita. Harus
menjunjung bangsa Indonesia ini kepada kehidupan yang lebih baik dan maju.
Yaitu dengan menjalankan hak-hak dan kewajiban dengan seimbang. Dengan
memperhatikan rakyat-rakyat kecil yang selama ini kurang mendapat kepedulian
dan tidak mendapatkan hak-haknya.
Berdasarkan Negara dan konstitusi Indonesia sudah
seharusnya melakukan hubungan internasional dengan Negara lain, dimana dalam
hubungan internasional tersebut pemerintah sepertinya telah mementingkan suatu kelompok
pengusaha, karena tak sedikit seorang pejaat Negara yang pada dasarnya
merupakan seorang pengusaha, tentu saja dengan adanya hubungan internasional
ini mereka mencari keuntungan dengan melakukan kerjasama dengan penguasa asing
tetapi kerjasama ini tidak mefokuskan dengan keadaaan yang terjadi di Indonesia
dan ketidak adanya komukasi yang lancar antara badan-badan kenegaraan.
- Perkembangan Politik Kewarganegaraan Di indonesia.
Pada
waktu menyusun konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, terjadi perdebatan
mengenai apakah hak warga negara perlu dicantumkan dalam pasal-pasal
Undang-Undang Dasar? Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak
warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Sebaliknya,
Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal
mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan
lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Perdebatan dalam sidang-sidang
BPUPKI tersebut merupakan tonggak penting dalam diskursus hak asasi manusia di
Indonesia, yang memberi pijakan bagi perkembangan wacana hak asasi manusia
periode-periode selanjutnya.
Karena
itu, menarik apabila kita menyimak sedikit perdebatan tersebut. Mengapa Soekarno
dan Supomo menolak pencantuman pasal-pasal hak warga negara dalam Konstitusi
Indonesia? Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada pandangan
mereka mengenai dasar negara --yang dalam istilah Soekarno disebut dengan “Philosofische
grondslag” atau dalam istilah Supomo disebut “Staatsidee”-- yang
tidak berlandaskan pada faham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan Soekarno,
jaminan perlindungan hak warga negara itu --yang berasal dari revolusi Prancis,
merupakan basis dari faham liberalisme dan individualisme yang telah menyebabkan
lahirnya imperialisme dan peperangan antara manusia dengan manusia. Soekarno
menginginkan negara yang mau didirikan itu didasarkan pada asas kekeluargaan
atau gotong-royong, dan karena itu tidak perlu dijamin hak warga Negara di
dalamnya.
Kutipan
di bawah ini akan menunjukkan argumen Soekarno yang menolak
mencantumkan hak-hak
warga negara:
“... saya minta dan
menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah
sama sekali faham
individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam Undang-
Undang Dasar kita yang
dinamakan “rights of the citizens” yang sebagai
dianjurkan oleh
Republik Prancis itu adanya”.
“... Buat apa kita
membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tak
dapat mengisi perutnya
orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang
berisi “droits de I’
homme et du citoyen” itu, tidak bisa menghilangkan
kelaparannya orang yang
miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh
karena itu, jikalau
kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada
paham kekeluargaan,
faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan
keadilan sosial,
enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme
dan liberalisme dari
padanya”.
Sedangkan
Supomo menolak dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal Undang-Undang
Dasar dengan alasan yang berbeda. Penolakan Supomo didasarkan pada pandangannya
mengenai ide negara integralistik (staatsidee integralistik), yang
menurutnya cocok dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia. Menurut faham
tersebut negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh
golongan-golongannya dalam lapangan apapun. Dalam negara yang demikian itu,
tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat dan susunan hukum
individu, karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik dari Staat.
Makanya hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara integralistik,
yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada negara. Paham inilah yang
mendasari argumen Supomo.
Sebaliknya,
mengapa Hatta dan Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya hak warga negara
dalam pasal-pasal Konstitusi? Hatta setuju dengan penolakan terhadap liberalisme
dan individualisme, tetapi ia kuatir dengan keinginan untuk memberikan kekuasaan
yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara yang ingin didirikan
itu terjebak dalam otoritarianisme. Berikut argumen Hatta:
“Tetapi satu hal yang
saya kuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau
satu pertanggungan
kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai
haknya untuk
mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas Undang-
Undang Dasar yang kita
susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan
negara yang tidak kita
setujui”.
“Sebab itu ada baiknya
dalam satu fasal, misalnya fasal yang mengenai
warga negara disebutkan
di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada
misalnya tiap-tiap warga
negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga
negara itu jangan takut
mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini
hak buat berkumpul dan
bersidang atau menyurat dan lain-lain. Tanggungan
ini perlu untuk menjaga
supaya negara kita tidak menjadi negara kekuasaan,
sebab kita dasarkan
negara kita kepada kedaulatan rakyat”.
Begitu
juga dengan Yamin. Sarjana hukum lulusan Belanda itu menolak dengan keras argumen-argumen
yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam Undang-Undang Dasar.
“Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar
seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak
memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan
semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam
Undang-undang Dasar,” Yamin mengucapkan pidatonya pada sidang BPUPKI. Pendapat
kedua pendiri bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian,
yang mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid
van woorden (pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan).
Mereka sangat menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang mereka lihat
terjadi di Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam Negara yang mau
didirikan itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga negara.
Percikan
perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu kompromi. Hak warga
negara yang diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian diterima untuk
dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar, tetapi dengan terbatas. Keterbatasan itu
bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan diatur oleh
undangundang, tetapi juga dalam arti konseptual. Konsep yang digunakan adalah
“Hak Warga Negara” (“rights of the citizens”) bukan “Hak Asasi Manusia”
(human rights). Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu berarti bahwa
secara implisit tidak diakui paham natural rights yang menyatakan bahwa
hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena ia lahir sebagai
manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara ditempatkan sebagai “regulator
of rights”, bukan sebagai “guardian of human rights”
–sebagaimana ditempatkan oleh sistem Perlindungan Internasional Hak Asasi
Manusia. Perdebatan tersebut tidak berakhir begitu saja. Diskursus mengenai hak
asasi manusia muncul kembali --sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan dalam
Undang- Undang Dasar 1945 pada sidang Konstituante (1957-1959). Sebagaimana
terrekam dalam Risalah Konstituente, khususnya dari Komisi Hak Asasi Manusia,
perdebatan di sini jauh lebih sengit dibanding dengan perdebatan di BPUPKI.
“Diskusi ini merupakan pernyataan paling jelas, paling bebas dan paling baik
mengenai kesadaran tentang hak asasi manusia di kalangan rakyat Indonesia,”
rekam Buyung Nasution yang melakukan studi mendalam tentang periode ini.
Berbeda dengan perdebatan awal di BPUPKI, diskusi di Konstituante relatif lebih
menerima hak asasi manusia dalam pengertian natural rights, dan
menganggapnya sebagai substansi Undang-Undang Dasar. Meskipun ada yang melihat
dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di Konstituante sebetulnya telah
berhasil menyepakati 24 hak asasi manusia yang akan disusun dalam satu bab pada
konstitusi. Sayang, Konstituante dibubarkan oleh Soekarno, akibatnya kesepakatan-kesepakatan
yang telah dicapai dalam Konstituante ikut dikesampingkan, termasuk kesepakatan
mengenai hak asasi manusia.
Pembubaran
Konstituante tersebut diikuti oleh tindakan Soekarno mengeluarkan dekrit yang
isinya adalah pernyataan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang
kemudian dikenal dengan “Dekrit 5 Juli 1959”. Dengan kembali ke Undang- Undang
Dasar 1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam
Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar “Sementara” 1950 menjadi mundur kembali.
Makanya setelah rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno digulingkan oleh gerakan
mahasiswa 1966, yang melahirkan rezim Orde Baru, perdebatan mengenai perlindungan
konstitusionalitas hak asasi manusia muncul kembali. Perdebatan itu muncul pada
Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk
Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia. Hasilnya adalah sebuah
“Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-hak
serta Kewajiban Warga Negara”. Tetapi sayang sekali rancangan tersebut tidak
berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan MPRS.
Alasannya --terutama diajukan oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI, akan lebih
tepat jika Piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPR(S)
yang bersifat “sementara”.
Kenyataannya,
setelah MPR hasil pemilu (1971) terbentuk, Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia
itu tidak pernah diajukan lagi. Fraksi Karya Pembangunan dan fraksi ABRI tidak
pernah mengingat lagi apa yang pernah mereka putuskan pada Sidang Umum MPRS
tahun 1968 tersebut. Sampai akhirnya datang gelombang besar “Reformasi”, yang
melengserkan Soeharto dari kursi Presiden Indonesia (Mei, 1998) dan membuka
babak baru wacana hak asasi manusia di Indonesia.
Hak Asasi Manusia dalam
Konstitusi Baru
Presiden
BJ. Habibie yang ditunjuk Soeharto sebagai penggantinya mengumumkan kabinetnya
sebagai “Kabinet Reformasi”. Presiden yang baru ini tidak punya pilihan lain
selain memenuhi tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama
ini tertutup, menjamin perlindungan hak asasi manusia, menghentikan korupsi,
kolusi dan nepotisme, menghapus dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan
narapidana politik, dan sebagainya. Perhatian pokok buku ini adalah yang
berkaitan dengan wacana hak asasi manusia pada periode reformasi.
Pada
periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas
perlindungan hak asasi manusia. Perdebatkan bukan lagi soal-soal konseptual
berkenaan dengan teori hak asasi manusia, tetapi pada soal basis hukumnya,
apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD? Gagasan mengenai
Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul
kembali. Begitu pula gagasan untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal
Undang-Undang Dasar juga muncul kembali ke dalam wacana perdebatan hak asasi
manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi
ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam Hak
Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga
tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk
mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi
manusia.
Hasil
Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik
pro-reformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain
berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden, mereka juga
berhasil menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada Sidang
Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi
manusia ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis
Permusyawaratan Rakyat sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA,
yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen
Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak
yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga pada
kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, dalam bab ini juga
dicantumkan pasal tentang tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Di samping
itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Salah
satu isu yang menjadi riak-perdebatan dalam proses amandemen itu adalah
masuknya pasal mengenai hak bebas dari pemberlakuan undang-undang yang berlaku
surut (non-retroactivity principle) yakni pasal 28I. Masuknya ketentuan
ini dipandang oleh kalangan aktifis hak asasi manusia dan aktifis pro-reformasi
yang tergabung dalam Koalisi untuk Konstitusi Baru sebagai “sabotase” terhadap
upaya mengungkapkan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu,
khsususnya di masa Orde Baru. Alasannya pasal itu dapat digunakan oleh para
pelaku pelanggaran hak asasi di masa lalu untuk menghindari tuntutan hukum.
Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi, yang lahir setelah Amandemen Kedua menjadi senjata yang tak
dapat digunakan untuk pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Sementara
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan bahwa adanya pasal itu sudah
lazim dalam instrumen internasional hak asasi manusia, khususnya dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Selain itu, menurut
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Pasal 28I itu harus dibaca pula dalam
kaitannya dengan Pasal 28J ayat (2).
Terlepas
dari kontroversi yang dipaparkan di atas, Amandemen Kedua tentang Hak Asasi
Manusia merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat
pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa
ini dalam memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di
dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang Dasar pada
tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada
masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi
manusia dalam sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa
betapa menyesatkan pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak
dikenal dalam budaya
Indonesia.
Undang-Undang Hak Asasi
Manusia
Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, periode reformasi merupakan periode yang sangat “friendly”
terhadap hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode Orde Baru yang
melancarkan “black-campaign” terhadap isu hak asasi manusia. Presiden
B.J. Habibie dan DPR sangat terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum
proses amandemen konstitusi bergulir, presiden lebih dulu mengajukan Rancangan
Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas.
Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan
pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan
undang-undang tersebut yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari Ketetapan
MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang luas terhadap
hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai dari
pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya, hingga pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan
dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan
gamblang mengakui paham ‘natural rights’, melihat hak asasi manusia
sebagai hak kodrati yang melekat pada manusia. Begitu juga dengan kategorisasi
hak-hak di dalamnya tampak merujuk pada instrumen-instrumen internasional hak
asasi manusia, seperti Universal Declaration of Human Rights, International
Covenan on Civil and Political Rights, International Covenan on
Economic, Social and Cultural Rights, International Convention on the
Rights of Child, dan seterusnya. Dengan demikian boleh dikatakan
Undang-Undang ini telah mengadopsi norma-norma hak yang terdapat di dalam
berbagai instrumen hak asasi manusia internasional tersebut.
Di
samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(bab VII). Mulai Pasal 75 sampai Pasal 99 mengatur tentang kewenangan dan
fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia. Jadi kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri
berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan
Undang-Undang. Hal yang menarik dalam Undang-Undang ini adalah adanya aturan
tentang partisipasi masyarakat (bab VIII), mulai dari Pasal 100 sampai Pasal
103. Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi
hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi
manusia atau “human rights defenders”. Selain itu, Undang-Undang
ini juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia yang harus
dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya
Undang-Undang tersebut (Bab IX).
Pertanyaannya
kemudian adalah, bagaimana status Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini setelah
keluarnya Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia? Apakah tetap berlaku atau
tidak? Kaidah “ketentuan yang baru menghapus ketentuan yang lama” jelas tidak
dapat diterapkan di sini. Kaidah tersebut hanya berlaku untuk norma yang
setingkat. Karena kedudukan kedua ketentuan tersebut tidak setingkat, dan
sejalan dengan “stuffenbau theorie des rechts” (hierarchy of norm
theory), norma konstitusi lebih tinggi daripada undang-undang. Maka
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 itu tetap berlaku dan dapat dipandang sebagai
ketentuan organik dari ketentuan hak asasi manusia yang terdapat pada amandemen
kedua.
Referensi
:
Adnan Buyung
Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi
Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,
1995,
0 komentar:
Posting Komentar